Dalam
memperoleh kemerdekaannya, negara Indonesia tidak mudah untuk
mendapatkan pengakuan dari negara lain. Pengakuan yang diberikan oleh
negara lain ini akan berpengaruh terhadap jalannya politik luar negeri
Indonesia sendiri. Politik luar negeri ini merupakan upaya dalam
mempertemukan kepentingan nasional, khususnya dalam rencana pembangunan
nasional dengan perkembangan dan perubahan internasional (Alami, 2008:
45). Politik luar negeri ini memiliki tujuan yang ingin dicapai karena
dengan adanya politik luar negeri akan dapat memperlancar dalam
melakukan aksi dalam kancah internasional.
Pelaksanaan politik luar negeri
Indonesia ini dijalankan karena adanya sebuah cita-cita yang ingin
dicapai. Cita-cita tersebut, yaitu dengan adanya keinginan dalam
melakukan kerjasama dan mengadakan hubungan baik dengan bangsa-bangsa
lain. Selain itu, dalam politik luar negeri Indonesia memiliki tujuan
yang ingin dicapai, yaitu mempertahankan kemerdekaan bangsa dan menjaga
keselamatan bangsa, memperoleh dari luar negeri barang-barang yang
diperlukan untuk memperbesar kemakmuran rakyat, perdamaian
internasional, dan persaudaraan segala bangsa sebagai pelaksanaan
cita-cita yang tersimpul dalam Pancasila (Hatta, 1953: 6-7). Politik
luar negeri Indonesia mengalami perkembangan, yaitu telah terjadi
pergantian masa enam dekade. Dalam perjalanannya tersebut terjadi
pemaknaan yang bervariasi terhadap prinsip-prinsip yang menjadi landasan
perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri Indonesia sendiri (Alami,
2008: 26-27).
Politik luar negeri Indonesia memiliki
landasan yang membaginya ke dalam tiga kategori, yaitu landasan idiil,
landasan konstitutsional, dan landasan operasional. Landasan idiil
politik luar negeri Indonesia, yaitu Pancasila. Pancasila dikenal
sebagai dasar negara bangsa Indonesia yang terdiri dari lima sila.
Kelima sila tersebut menjelaskan mengenai pedoman dasar bagi pelaksanaan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal dan mencakup seluruh sendi
kehidupan manusia (Alami, 2008: 28).
Landasan konstitusional politik luar
negeri Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Dalam UUD 1945 ini
mengandung pasal-pasal yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara,
serta menjelaskan mengenai garis-garis besar dalam kebijakan luar negeri
Indonesia. Terdapatnya hal semacam ini berfungsi sebagai dalam
pelaksanaan untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia (Alami, 2008:
28). Sedangkan, landasan operasionalnya, yaitu bebas aktif. Pada
pelaksanaan landasan operasional ini mengalami perubahan karena
menyesuaikan dengan kepentingan nasional yang ingin dicapai. Selain itu,
landasan operasional juga mengalami perluasan makna karena politik luar
negeri Indonesia yang mengalami perkembangan selama enam dekade (Alami,
2008: 28-29).
Landasan operasional politik luar negeri
Indonesia mengalami perubahan dan dapat dilihat dengan adanya perbedaan
dalam memahami landasan operasional pada setiap masanya, misalnya pada
masa Orde Lama dan Orde Baru. Pertama, masa Orde Lama dijelaskan bahwa
landasan operasional politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif.
Hal ini dapat dilihat dalam maklumat dan pidato-pidato Presiden
Soekarno. Selain itu, pada dasawarsa 1950-an menjelaskan bahwa landasan
operasional mengalami perluasan makna. Perluasan makna tersebut
diyatakan oleh Presiden Soekarno dalam pidatonya yang berjudul “Jalannya
Revolusi”, maksud dalam pidato tersebut, yaitu mengenai prinsip bebas
aktif yang dicerminkan dengan adanya hubungan ekonomi dengan luar
negeri. Sedangkan, masa Orde Baru dijelaskan bahwa landasan operasional
politik luar negeri Indonesia semakin dipertegas dengan adanya peraturan
formal. Penegasan yang diwujudkan melalui Ketetapan MPRS No.
XII/MPRS/1965 tanggal 5 Juli 1966, Ketetapan MPR tanggal 22 Maret 1973,
petunjuk Presiden 11 April 1973, petunjuk bulanan Presiden sebagai
Presiden sebagai ketua Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan, dan
keputusan-keputusan Menteri Luar Negeri, serta dalam TAP MPR tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Selain itu, landasan operasional
pasca Orde Baru dijelaskan bahwa mengalami perubahan pemerintahan
secara cepat. Hal ini dapat dilihat dengan adanya dua kabinet yang
memerintah pada masa pemerintahan pasca Orde Baru, yaitu kabinet Kabinet
Gotong Royong dan Kabinet Indonesia Bersatu (Alami, 2008: 28-34).
Pada masa pemerintahan Kabinet Gotong
Royong (2001-2004) mengoperasionalkan politik luar negeri Indonesia
melalui Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tanggal 19 Oktober 1999 tentang
GBHN dalam rangka mewujudkan tujuan nasional periode 1999-2004, UU No.37
tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, UU No. 24 tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, dan Perubahan UUD 1945. Pada Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1999 melatarbelakangi karena adanya krisis ekonomi dan krisis
nasional pada tahun 1997. Pada UU No. 37 tahun 1999 menekankan pada
aspek penyelenggaraan hubungan luar negeri dan politik luar negeri. Hal
ini dapat dilihat dalam politik bebas aktif luar negeri bebas aktif
untuk kepentingan nasional, mengatur keterlibatan pihak-pihak dalam
lembaga negara dan lembaga pemerintah dalam penyelenggaraan hubungan
luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri. Sedangkan, UU No. 24
tahun 2000 menekankan pada pentingnya menciptakan suatu kepastian hukum
dalam perjanjian internasional (Alami, 2008: 34-37).
Pada masa pemerintahan Kabinet Indonesia
Bersatu (2004-2009) mengoperasionalkan politik luar negerinya ke dalam
tiga program utama, yaitu pemantapan politik luar negeri dan
optimalisasi diplomasi Indonesia dalam penyelenggaraan hubungan luar
negeri dan pelaksanaan luar negeri, peningkatan kerjasama internasional
yang bertujuan memanfaatkan secara optimal berbagai peluang dalam
diplomasi dan kerjasama internasional, dan penegasan komitmen perdamaian
dunia yang dilakukan dalam rangka membangun dan mengembangkan semangat
multilateralisme dalam memecahkan berbagai persoalan keamanan
internasional (Alami, 2008: 34-40). Dalam melakukan upaya agar Indonesia
diakui secara internasional, Indonesia melakukan diplomasi. Namun,
dalam pelaksanaan tersebut perjuangan Indonesia tidak mudah karena
selain jalur diplomasi yang ditempuh, Indonesia juga melalui perjuangan
fisik bersenjata. Bukan hanya itu saja yang menyebabkan Indonesia susah
dalam mendapatkan pengakuan internasional, hal ini juga diakibatkan dari
adanya perkembangan politik internasional yang pada saat itu sedang
tidak mendukung. Politik internasional pada masa itu mengalami adanya
persaingan tajam yang terjadi antara blok barat dengan blok timur.
Persaingan yang terjadi ini kemudian mempersulit posisi Indonesia dalam
berpihak. Namun, sebagai jawabannya Indonesia tidak memilih salah satu
dari kedua blok tersebut (Alami, 2008: 40-41).
Tidak memilih di antara kedua blok
tersebut menyebabkan pilihan dalam politik luar negeri Indonesia itu
bebas dan aktif. Bebas dalam artian ini, yaitu tidak berpihak pada
blok-blok yang ada dengan bersikap netral dan memiliki cara tersendiri
dalam mengatasi persoalan internasional. Namun, dalam hal ini Indonesia
tidak dapat dikatakan sebagai negara yang netral posisinya. Sikap netral
yang dimaksud ini adalah sikap netral yang anti sosial, namun sikap ini
tidak sesuai dengan yang dilakukan Indonesia karena Indonesia menjadi
anggota PBB (Hatta, 1953: 12). Hal ini kemudian ditegaskan oleh Hatta
karena Indonesia tidak dihadapkan pada suatu pilihan dalam hubungan
negara-negara yang sedang berperang, melainkan Indonesia mengambil sikap
tersebut untuk memperkokoh dan memperjuangkan perdamaian (Alami, 2008:
43-44). Sedangkan, aktif dalam artiannya menjelaskan mengenai adanya
partisipasi Indonesia dalam menjaga perdamaian dan meredakan ketegangan
yang terjadi diantara kedua blok tersebut. Politik luar negeri Indonesia
yang berdasarkan prinsip bebas aktif ini juga tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. Dalam alinea tersebut
dijelaskan bahwa Indonesia menentang segala bentuk penjajaha dan ikur
melaksanakan ketertiban dunia (Alami, 2008: 44-45).
Dasar politik bebas yang dipilih
Indonesia pertama kali diletakkan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun
1948. Namun, hal ini menjadi pertentangan dengan golongan kiri di bawah
pimpinan Partai Komunis Indonesia (Hatta, 1953: 16). Prinsip bebas aktif
ini juga dipengaruhi oleh posisi Indonesia yang secara geopolitik
terletak di antara dua samudra dan dua benua menjadikan Indonesia
istimewa dibanding dengan negara lain. alasan tersebut karena dalam
posisi silang yang dialami Indonesia mengandung berbagai kekuatan dan
kelemahan. Kekuatan yang dapat dilihat, yaitu pada posisi kekuasaan yang
kuat dalam hubungan internasional terhadap negara-negara di sekitarnya
karena dapat mempengaruhi life line-nya dan potensi sumber daya
alam yang besar. Sedangkan, yang menjadi kelemahannya, yaitu bentuk
kepulauan yang sangat luas karena rentan terhadap adanya ancaman
keamanan dari pihak luar dan penyebaran penduduk yang tidak merata dan
ketersediaan sumber daya alam dan terjadinya marginalisasi pulau-pulau
luar (Alami, 2008: 47-48).
Politik luar negeri dalam haluannya
berbeda dengan politik dalam negeri. Hal ini terjadi karena adnaya
faktor-faktor subjektif yang tidak semata-mata dapat menguasai, namun
terdapat faktor objektif yang ikut dalam menentukan coraknya.
Faktor-faktor objektif dalam politik luar negeri Indonesia dapat dilihat
dengan, yaitu pertama, keadaan-keadaan yang nyata dan dihadapinya,
kedudukan geografinya, kedudukan ekonomi-geografi yang menentukan bahwa
Indonesia harus mempunyai hubungan dengan banyak negeri, dan Pancasila
yang merupakan faktor yang berpengaruh penting (Hatta, 1953: 26-28).
Dalam melaksanakan politik bebas aktif ini Indonesia menjalankan
sikapnya, yaitu dengan menjalankan sesuai dengan kepentingannya dan
dijalankan menurut dengan keadaan dan kenyataan yang dihadapi. Alasan
ini merupakan penjelas bagi garis politik Indonesia yang tidak dapat
ditentukan oleh haluan politik negara lain yang didasari oleh
kepentingan negara itu sendiri (Alami, 2008: 43).
Politik luar negeri Indonesia yang
memegang prinsip bebas dan aktif dinilai kurang optimal karena dianggap
tidak menjalankan dengan yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dengan
adanya pelaksanaan dalam pemerintahan pada masa presiden-presiden
terdahulu telah terjadi penyelewengan misalnya Presiden Soekarno yang
membuat poros Jakarta-Beijing-Pyongyang, namun tetap menyokong Gerakan
Non Blok dan Presiden Soeharto yang pernah mendirikan IGGI, namun
berusaha ingin menjadi ketua Gerakan Non Blok (ugm.ac.id). Namun,
politik luar negeri Indonesia yang mempengaruhi dalam politik regional
dan internasional dapat dilihat dengan adanya pergantian rezim Soekarno
ke Soeharto. Pergantian rezim yang dulunya lebih mendengungkan terhadap
anti kolonialisme dan anti imperialisme digantikan dengan sikap yang
lebih fokus pada upaya pembangunan bidang ekonomi dan peningkatan kerja
sama dengan dunia internasional (Alami, 2008: 33). Pembuktian ini
diperjelas dengan adanya sikap dari negara lain terutama di Asia
Tenggara yang menghormati masa pemerintahan Soeharto pada kala itu.
Selain itu, pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga masih
menjalin hubungan internasional karena adanya sikap diplomasi presiden
yang intens dan inisiatif-inisiatif segar dalam mengatasi persoalan
regional dan dunia seperti menggagas ide mengenai ASEAN Community, Asian
African Cooperation, New Asia Africa Partnerships dan lain-lain (Alami,
2008: 52-53).
Dari penjelasan yang telah diuraikan
tersebut dapat disimpulkan bahwa politik luar negeri Indonesia memiliki
prinsip tersendiri, yaitu bebas aktif. Selain itu, landasan politik
Indonesia yang terbagi atas tiga kategori, namun pada landasan
operasional sering kali terlihat adanya perubahan karena pengaruh dari
keadaan yang terjadi. Politik luar negeri Indonesia menjadi hal yang
sangat vital dalam melakukan sebuah kegiatan yang nantinya dapat
menunjang negara dalam kancah internasional.